Hati-Hati Jajanan Anak Sekolah, Berbahaya!
Sunday, August 11, 2019
Edit
Jajanan anak sekolah perlu lebih diperhatikan keamanannya karena berperan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak sekolah. Makanan yang sering menjadi sumber keracunan yaitu makanan ringan dan jajanan, lantaran biasanya masakan ini merupakan hasil produksi industri masakan rumahan yang kurang sanggup menjamin kualitas produk olahannya.
Makanan jajan anak sekolah cenderung memakai materi pengawet, pewarna, aroma, penyedap, dan pemanis, sehingga mengancam kesehatan anak. kasus itu merupakan kasus keamanan dimana masih ditemukannya produk masakan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan yang mengakibatkan banyaknya kasus keracunan makanan. Disamping masih rendahnya pengetahuan pangan dan tanggung jawab produsen serta rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen ihwal mutu dan keamanan pangan.
Menurut penelitian Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tahun 2004, sebagian masakan jajanan anak sekolah itu mengandung materi kimia berbahaya. Dari 163 sampel jajanan anak yang diuji di 10 provinsi, sebanyak 80 sampel atau 50 persennya tak memenuhi syarat mutu dan keamanan. Kebanyakan jajanan yang bermasalah itu mengandung boraks, formalin, zat pengawet, zat perwarna berbahaya, serta tak mengandung garam beryodium. Sedikitnya 19.465 jenis makanan dijadikan sampel pengujian tersebut. Hasilnya, sebanyak 5,6% sampel tidak layak diedarkan. Sebanyak 185 item mengandung pewarna berbahaya, 94 item mengandung boraks, 74 item mengandung formalin, dan 52 item mengandung benzoat atau pengawet dalam kadar berlebih. Badan POM kemudian menariknya dari peredaran untuk dimusnahkan. 
Di samping itu, Badan POM juga mengusut sebanyak 1.335 unit sarana industri makanan. Hasilnya, sebanyak 36 dari 267 industri yang terdaftar produknya, belum memenuhi persyaratan. Dari 927 unit industri rumah tangga berizin SP yang diperiksa, ternyata ditemukan sebanyak 542 unit sarana belum memenuhi persyaratan.
Berdasarkan data insiden luar biasa (KLB) pada JAS tahun 2004-2006, kelompok siswa sekolah dasar (SD) paling sering mengalami keracunan pangan. Hasil survei yang dilakukan di Bogor pada tahun 2004 menyatakan sebanyak 36% kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari pangan jajanan yang dikonsumsinya. Akan tetapi, tingkat keamanan pangan jajanan memprihatinkan. Penyalahgunaan materi kimia berbahaya ibarat formalin dan rhodamin B oleh produsen pangan jajanan yaitu salah satu pola rendahnya tingkat pengetahuan produsen mengenai keamanan pangan jajanan. Ketidaktahuan produsen mengenai penyalahgunaan tersebut dan praktik higiene yang masih rendah merupakan faktor utama penyebab kasus keamanan pangan jajanan. Kondisi ibarat ini sanggup mengakibatkan penyakit jawaban pangan pada bawah umur baik secara akut maupun kronis.
Hasil survei oleh Badan POM tahun 2007 memperlihatkan 45% produk pangan olahan dan siap saji di lingkungan sekolah terkotori baik fisik, mikrobiologis, maupun kimia. Selain terkotori mikroba, banyak produk pangan mengandung formalin, boraks, dan zat pewarna tekstil.
Pada penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella Paratyphi A di 25%-50% sampel minuman yang dijual di kaki lima. Penelitian lain yang dilakukan suatu forum studi di kawasan Jakarta Timur mengungkapkan bahwa jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh bawah umur sekolah yaitu lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok. Berdasarkan uji laboratorium, pada otak-otak dan bakso ditemukan boraks, tahu goreng dan mie kuning lembap ditemukan formalin, dan es sirop merah positif mengandung rhodamin B.
Belakangan juga terungkap bahwa reaksi simpang masakan tertentu ternyata sanggup memengaruhi fungsi otak termasuk gangguan sikap pada anak sekolah. Gangguan sikap tersebut mencakup gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, asma, alergi, hiperaktif, dan memperberat tanda-tanda pada penderita antis. Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum ibarat pusing, mual, muntah, diare atau bahkan kesulitan buang air besar. Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan materi kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998.
Hiroshi Osawa, seorang profesor dari Universitas Iwate, Jepang, semenjak tahun 1984 telah meneliti sikap kekerasan dewasa Jepang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tindakan kekerasan tersebut diakibatkan oleh konsumsi minuman ringan dalam kaleng atau botol dan masakan junk food yang terlalu banyak. Selain itu, hasil penelitian juga memperlihatkan relasi antara sikap pemarah dan menurunnya konsentrasi dengan ketidakseimbangan metabolisms glukosa pada otak. Ketidakseimbangan ini erat kaitannya dengan konsumsi gala dan karbohidrat olahan berlebihan.
Bagi anak yang sensitif, pengawet dan pewarna sanggup mencetuskan tanda-tanda alergi baik pada badan dan otaknya, di samping itu juga menimbulkan tanda-tanda diare. Alergi pada zat-zat aditif atau zat-zat tertentu pada makanan, sanggup memengaruhi suasana hati, perilaku, dan proses berpikir. Bahkan dalam jangka panjang akan mempertinggi risiko kanker. Zat-zat dalam masakan lain (secara tidak langsung) yang sanggup mengganggu acara massa penghantar saraf otak (neurotransmiter) di otak, di antaranya: aroma sintetis, monosodium glutamat (MSG), atau salisilat sintetis. Asupan MSG dalam jumlah banyak yang terus-menerus dalam jangka pendek akan menciptakan anak jadi haus, pusing, dan mual.
Pengaruh konsumsi MSG berlebihan terhadap badan sanggup melalui beberapa cara, yaitu:
Wawancara dengan PKL, memperlihatkan bahwa mereka tidak tahu adanya BTP ilegal pada materi baku jajanan yang mereka jual. BTP ilegal menjadi primadona materi tambahan di jajanan kaki lima eksekusi alam harganya murah, sanggup memperlihatkan penampilan masakan yang menarik (misalnya warnanya sangat cerah sehingga menarik perhatian anak-anak) dan gampang didapat. Lebih jauh lagi, kita ketahui bahwa masakan yang dijajakan oleh PKL umumnya tidak dipersiapkan dengan secara baik dan bersih.
Kebanyakan PKL memiliki pengetahuan yang rendah ihwal penanganan pangan yang aman, mereka juga kurang memiliki susukan terhadap air higienis serta kemudahan basuh dan buang sampah. Terjadi nya penyakit. bawaan masakan pada jajanan kaki lima sanggup berupa kontaminasi baik dari materi baku, penjamah masakan yang tidak sehat, atau peralatan yang kurang bersih, juga waktu dan temperatur penyimpanan yang tidak tepat.
Menurut survei Yayasan Kusuma Buana, sebuah LSM di Jakarta yang bergerak di bidang kesehatan, cukup banyak anak yang berangkat ke sekolah tanpa sarapan (16,9% dari 3.495 siswa yang diteliti). Akibatnya, mereka jajan di warung bersahabat sekolah atau pedagang kaki lima di sekitar sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2001/2002 di 13 SD di Jakarta, ternyata kesibukan orang bau tanah di pagi hari atau belum adanya selera makan di pagi hari menjadi alasan anak berangkat sekolah tanpa sarapan. Namun demikian, pola jajan di sekolah ternyata dilakukan juga oleh siswa yang sudah sarapan di rumah masing-masing.
Ketika jajanan anak di sekitar sekolah-sekolah tersebut diteliti di Laboratorium Institut Pertanian Bogor, dari 34 sampel masakan dan 15 sampel minuman yang diteliti, tenyata 58,8% masakan dan 73,3% minuman mengandung basil E. coli dan enterobacter (penyebab diare), zat pewarna, zat pengawet, atau aksesori buatan sakarin.
Sementara para siswanya, 3.160 orang, dikala diperiksa darahnya, sebanyak 1.565 anak ternyata mengidap anemia (kurang darah). Saat 332 orang di antaranya diperiksa secara acak, sebanyak 18,1 persen menderita kurang gizi.
Setelah rakyat Indonesia dihantui ketakutan mengonsumsi mie basah, tahu, dan ikan, lantaran kandungan formalinnya tinggi sekarang perhatian sepertinya akan beralih ke jajanan anak sekolah. Pasalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan fakta barn. Sekitar 60% jajanan anak sekolah ibarat minuman ringan, es cendol, dan camilan manis ringan lainnya tidak layak konsumsi lantaran mengandung zat pewarna tekstil serta 50% di antaranya mengandung unsur mikroba. Kedua unsur ini membahayakan kesehatan insan lantaran zat pewarna tekstil dan mikroba pada bawah umur akan mengakibatkan reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak serta imbas kurang baik terhadap otak dan sikap anak. Survei dilakukan BPOM Pusat tahun 2005 dan dilakukan di 18 provinsi berpenduduk padat di Indonesia di mana 816 sampel yang diambil terindikasi zat tersebut.
Demikian uraian ihwal ancaman jajanan anak sekolah, supaya bawah umur kita sanggup terus diawasi demi kesehatannya. Tulisan ini bersumber dari Buku Pengantar Gizi Makanan Cetakan Ke-2, Mei 2013 yang ditulis oleh Guru Besar Bidang Ilmu Gizi Universitas Airlangga yang juga yaitu Ketua Dewan Pakar Gizi Klinik Rumah Sakit Tropis UNAIR, Prof. dr. Bambang Wijatmadi. M.S.,MCN.,Ph.D.,Sp.Gk bersama Dr. Merryana Adriani, SKM., M.Kes yang juga yaitu peneliti di bidang kesehatan masyarakat dan diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Semoga bermanfaat !
Makanan jajan anak sekolah cenderung memakai materi pengawet, pewarna, aroma, penyedap, dan pemanis, sehingga mengancam kesehatan anak. kasus itu merupakan kasus keamanan dimana masih ditemukannya produk masakan yang tidak memenuhi persyaratan mutu dan keamanan yang mengakibatkan banyaknya kasus keracunan makanan. Disamping masih rendahnya pengetahuan pangan dan tanggung jawab produsen serta rendahnya pengetahuan dan kepedulian konsumen ihwal mutu dan keamanan pangan.
Menurut penelitian Badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM) tahun 2004, sebagian masakan jajanan anak sekolah itu mengandung materi kimia berbahaya. Dari 163 sampel jajanan anak yang diuji di 10 provinsi, sebanyak 80 sampel atau 50 persennya tak memenuhi syarat mutu dan keamanan. Kebanyakan jajanan yang bermasalah itu mengandung boraks, formalin, zat pengawet, zat perwarna berbahaya, serta tak mengandung garam beryodium. Sedikitnya 19.465 jenis makanan dijadikan sampel pengujian tersebut. Hasilnya, sebanyak 5,6% sampel tidak layak diedarkan. Sebanyak 185 item mengandung pewarna berbahaya, 94 item mengandung boraks, 74 item mengandung formalin, dan 52 item mengandung benzoat atau pengawet dalam kadar berlebih. Badan POM kemudian menariknya dari peredaran untuk dimusnahkan.

Di samping itu, Badan POM juga mengusut sebanyak 1.335 unit sarana industri makanan. Hasilnya, sebanyak 36 dari 267 industri yang terdaftar produknya, belum memenuhi persyaratan. Dari 927 unit industri rumah tangga berizin SP yang diperiksa, ternyata ditemukan sebanyak 542 unit sarana belum memenuhi persyaratan.
Berdasarkan data insiden luar biasa (KLB) pada JAS tahun 2004-2006, kelompok siswa sekolah dasar (SD) paling sering mengalami keracunan pangan. Hasil survei yang dilakukan di Bogor pada tahun 2004 menyatakan sebanyak 36% kebutuhan energi anak sekolah diperoleh dari pangan jajanan yang dikonsumsinya. Akan tetapi, tingkat keamanan pangan jajanan memprihatinkan. Penyalahgunaan materi kimia berbahaya ibarat formalin dan rhodamin B oleh produsen pangan jajanan yaitu salah satu pola rendahnya tingkat pengetahuan produsen mengenai keamanan pangan jajanan. Ketidaktahuan produsen mengenai penyalahgunaan tersebut dan praktik higiene yang masih rendah merupakan faktor utama penyebab kasus keamanan pangan jajanan. Kondisi ibarat ini sanggup mengakibatkan penyakit jawaban pangan pada bawah umur baik secara akut maupun kronis.
Hasil survei oleh Badan POM tahun 2007 memperlihatkan 45% produk pangan olahan dan siap saji di lingkungan sekolah terkotori baik fisik, mikrobiologis, maupun kimia. Selain terkotori mikroba, banyak produk pangan mengandung formalin, boraks, dan zat pewarna tekstil.
Pada penelitian yang dilakukan di Bogor telah ditemukan Salmonella Paratyphi A di 25%-50% sampel minuman yang dijual di kaki lima. Penelitian lain yang dilakukan suatu forum studi di kawasan Jakarta Timur mengungkapkan bahwa jenis jajanan yang sering dikonsumsi oleh bawah umur sekolah yaitu lontong, otak-otak, tahu goreng, mie bakso dengan saus, ketan uli, es sirop, dan cilok. Berdasarkan uji laboratorium, pada otak-otak dan bakso ditemukan boraks, tahu goreng dan mie kuning lembap ditemukan formalin, dan es sirop merah positif mengandung rhodamin B.
Belakangan juga terungkap bahwa reaksi simpang masakan tertentu ternyata sanggup memengaruhi fungsi otak termasuk gangguan sikap pada anak sekolah. Gangguan sikap tersebut mencakup gangguan tidur, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, asma, alergi, hiperaktif, dan memperberat tanda-tanda pada penderita antis. Pengaruh jangka pendek penggunaan BTP ini menimbulkan gelaja-gejala yang sangat umum ibarat pusing, mual, muntah, diare atau bahkan kesulitan buang air besar. Joint Expert Committee on Food Additives (JECFA) dari WHO yang mengatur dan mengevaluasi standar BTP melarang penggunaan materi kimia tersebut pada makanan. Standar ini juga diadopsi oleh Badan POM dan Departemen Kesehatan RI melalui Peraturan Menkes Nomor 722/Menkes/Per/IX/1998.
Hiroshi Osawa, seorang profesor dari Universitas Iwate, Jepang, semenjak tahun 1984 telah meneliti sikap kekerasan dewasa Jepang. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa tindakan kekerasan tersebut diakibatkan oleh konsumsi minuman ringan dalam kaleng atau botol dan masakan junk food yang terlalu banyak. Selain itu, hasil penelitian juga memperlihatkan relasi antara sikap pemarah dan menurunnya konsentrasi dengan ketidakseimbangan metabolisms glukosa pada otak. Ketidakseimbangan ini erat kaitannya dengan konsumsi gala dan karbohidrat olahan berlebihan.
Bagi anak yang sensitif, pengawet dan pewarna sanggup mencetuskan tanda-tanda alergi baik pada badan dan otaknya, di samping itu juga menimbulkan tanda-tanda diare. Alergi pada zat-zat aditif atau zat-zat tertentu pada makanan, sanggup memengaruhi suasana hati, perilaku, dan proses berpikir. Bahkan dalam jangka panjang akan mempertinggi risiko kanker. Zat-zat dalam masakan lain (secara tidak langsung) yang sanggup mengganggu acara massa penghantar saraf otak (neurotransmiter) di otak, di antaranya: aroma sintetis, monosodium glutamat (MSG), atau salisilat sintetis. Asupan MSG dalam jumlah banyak yang terus-menerus dalam jangka pendek akan menciptakan anak jadi haus, pusing, dan mual.
Pengaruh konsumsi MSG berlebihan terhadap badan sanggup melalui beberapa cara, yaitu:
- Memengaruhi acara otak atau mengacaukan pembentukan serta pengeluaran neurotransmiter yang memodifikasi suasana hati.
- Mengganggu atau mengharnbat anutan neurotransmiter sehingga saraf akseptor pesan tidak sanggup memahami sinyal listrik yang dikirim.
- Memengaruhi enzim-enzim yang mengatur acara neurotransmiter.
Gejala atau imbas yang ditimbulkan oleh zat-zat pembuat alergi tersebut sanggup bervariasi, contohnya kurang gairah belajar, kurang konsentrasi, meningkatnya kenakalan, gampang mengantuk, cemas, dan daya ingat berkurang. Karma efeknya samar dan tidak begitu nyata, orangtua sering mengabaikan. Kalau anak malas belajar, dianggap karena terlalu sering nonton televisi atau main video game.
Wawancara dengan PKL, memperlihatkan bahwa mereka tidak tahu adanya BTP ilegal pada materi baku jajanan yang mereka jual. BTP ilegal menjadi primadona materi tambahan di jajanan kaki lima eksekusi alam harganya murah, sanggup memperlihatkan penampilan masakan yang menarik (misalnya warnanya sangat cerah sehingga menarik perhatian anak-anak) dan gampang didapat. Lebih jauh lagi, kita ketahui bahwa masakan yang dijajakan oleh PKL umumnya tidak dipersiapkan dengan secara baik dan bersih.
Kebanyakan PKL memiliki pengetahuan yang rendah ihwal penanganan pangan yang aman, mereka juga kurang memiliki susukan terhadap air higienis serta kemudahan basuh dan buang sampah. Terjadi nya penyakit. bawaan masakan pada jajanan kaki lima sanggup berupa kontaminasi baik dari materi baku, penjamah masakan yang tidak sehat, atau peralatan yang kurang bersih, juga waktu dan temperatur penyimpanan yang tidak tepat.
Menurut survei Yayasan Kusuma Buana, sebuah LSM di Jakarta yang bergerak di bidang kesehatan, cukup banyak anak yang berangkat ke sekolah tanpa sarapan (16,9% dari 3.495 siswa yang diteliti). Akibatnya, mereka jajan di warung bersahabat sekolah atau pedagang kaki lima di sekitar sekolah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan tahun 2001/2002 di 13 SD di Jakarta, ternyata kesibukan orang bau tanah di pagi hari atau belum adanya selera makan di pagi hari menjadi alasan anak berangkat sekolah tanpa sarapan. Namun demikian, pola jajan di sekolah ternyata dilakukan juga oleh siswa yang sudah sarapan di rumah masing-masing.
Ketika jajanan anak di sekitar sekolah-sekolah tersebut diteliti di Laboratorium Institut Pertanian Bogor, dari 34 sampel masakan dan 15 sampel minuman yang diteliti, tenyata 58,8% masakan dan 73,3% minuman mengandung basil E. coli dan enterobacter (penyebab diare), zat pewarna, zat pengawet, atau aksesori buatan sakarin.
Sementara para siswanya, 3.160 orang, dikala diperiksa darahnya, sebanyak 1.565 anak ternyata mengidap anemia (kurang darah). Saat 332 orang di antaranya diperiksa secara acak, sebanyak 18,1 persen menderita kurang gizi.
Setelah rakyat Indonesia dihantui ketakutan mengonsumsi mie basah, tahu, dan ikan, lantaran kandungan formalinnya tinggi sekarang perhatian sepertinya akan beralih ke jajanan anak sekolah. Pasalnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan fakta barn. Sekitar 60% jajanan anak sekolah ibarat minuman ringan, es cendol, dan camilan manis ringan lainnya tidak layak konsumsi lantaran mengandung zat pewarna tekstil serta 50% di antaranya mengandung unsur mikroba. Kedua unsur ini membahayakan kesehatan insan lantaran zat pewarna tekstil dan mikroba pada bawah umur akan mengakibatkan reaksi alergi, asma, dan hiperaktif pada anak serta imbas kurang baik terhadap otak dan sikap anak. Survei dilakukan BPOM Pusat tahun 2005 dan dilakukan di 18 provinsi berpenduduk padat di Indonesia di mana 816 sampel yang diambil terindikasi zat tersebut.
Demikian uraian ihwal ancaman jajanan anak sekolah, supaya bawah umur kita sanggup terus diawasi demi kesehatannya. Tulisan ini bersumber dari Buku Pengantar Gizi Makanan Cetakan Ke-2, Mei 2013 yang ditulis oleh Guru Besar Bidang Ilmu Gizi Universitas Airlangga yang juga yaitu Ketua Dewan Pakar Gizi Klinik Rumah Sakit Tropis UNAIR, Prof. dr. Bambang Wijatmadi. M.S.,MCN.,Ph.D.,Sp.Gk bersama Dr. Merryana Adriani, SKM., M.Kes yang juga yaitu peneliti di bidang kesehatan masyarakat dan diterbitkan oleh Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Semoga bermanfaat !